Aksesori Interior
Tak Sekadar Pengisi Ruang dalam Kontainer
Sebagian pengusaha dan perajin produk aksesori interior
di Yogyakarta dan Klaten kini mulai bangkit, setelah “mati suri” karena gempa bumi Mei lalu. Setidaknya mulai bulan Agustus 2016, sebagian pembeli tetap produk mereka sudah mulai memesan barang. Keterbatasan modal adalah hal utama yang menjadi kendala mereka saat ini.
Sebagian besar modal mereka dalam bentuk barang rusak saat gempa bumi terjadi. Sementara itu, dana yang dimiliki tak bisa seluruhnya digunakan sebagai modal usaha karena mereka pun memerlukan uang itu untuk memperbaiki rumah dan berbagai peralatan produksi.
Fajar Saptadi (32), perajin keramik di Merbung, Klaten, Jawa Tengah, bercerita, saat gempa terjadi sekitar 80 persen dari guci-guci besar pesanan pembeli dari Amerika Serikat hancur total. Bersama dengan pecahnya guci-guci itu, berarti melayang pula uang senilai sekitar Rp 60 juta yang telah dikeluarkan Fajar.
“Itu baru kerugian di Klaten sini. Warung keramik saya di Kasongan, Yogyakarta, cuma menyisakan sembilan keramik yang masih utuh. Ini sama dengan kehilangan uang sekitar Rp 15 juta-Rp 20 juta. Sampai sekarang saya belum bisa memperbaiki, apalagi mengisi warung di Kasongan itu,” kata Fajar yang menggunakan merek Fajar Keramik untuk produknya.
Layaknya kebanyakan orang Jawa, bagaimanapun Fajar masih merasa beruntung karena pemesan mau mengirim uang muka 30 persen dari keseluruhan harga pesanan. Namun, jumlah itu pun tak cukup untuk mulai berproduksi. Kemudian, dia mengambil pinjaman dari bank untuk menutupi kekurangan biaya produksi.
“Dua tungku untuk pembakaran keramik saya hancur. Saya harus beli baru lagi, dan harganya tidak murah antara Rp 15 juta dan Rp 20 juta,” kata Fajar yang menjadi perajin keramik sejak tahun 1999.
Sebelum gempa bumi terjadi, 70 persen-80 persen produknya untuk ekspor, sementara sisanya berupa keramik untuk kebutuhan usaha lokal seperti hotel, spa, dan pot tanaman. Dulu, sebelum gempa, dia bisa mengantongi omzet sebesar Rp 130 juta-Rp 140 juta per bulan. Usahanya juga menjadi tumpuan penghasilan bagi 40 perajin tetap, dan sekitar 100-125 perajin tak tetap.
Hal serupa juga dialami Neri Novita (32) yang bersama suaminya, Norman Hendrasyah (36), memproduksi aksesori interior berbahan baku keramik, bambu, pelepah kelapa, dan lidi. Membawa bendera Nebula, Neri dalam setahun bisa mengantongi omzet ratusan juta rupiah. Ketika gempa terjadi, dia tengah menyiapkan pesanan berbagai aksesori senilai Rp 250 juta.
“Kalau produk dari bambu, pelepah kelapa, kayu, dan lidi sebagian masih bisa diselamatkan, hanya perlu perbaikan kecil-kecil di sana-sini. Tetapi, untuk keramik, semuanya hancur. Kami menghitung, harga barang yang rusak itu lebih dari Rp 100 juta,” ujar Neri yang kini memilih tinggal di workshop. Dia masih trauma untuk kembali ke rumah yang letaknya di belakang workshop.
“Meski sudah mulai diperbaiki, tetapi kalau melihat dinding kamar, masih terbayang retakan yang membesar waktu gempa terjadi,” ucap Neri yang berusaha tetap memberi pekerjaan untuk 10 perajin tetap dan 50 perajin lepas.
Padat karya
Gempa bumi telah membuat ribuan pengusaha dan perajin aksesori interior seakan harus memulai lagi memperkenalkan produk mereka. Salah satu cara yang dilakukan adalah lewat pameran. Begitu produk mereka dipajang, diharapkan pembeli dan pemesan pun berdatangan. Ini penting segera dilakukan, agar roda ekonomi kembali berputar.
Andra Prasetyo, Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Klaten, mengatakan, sekitar 3.000 pengusaha sekaligus perajin di daerah itu terkena dampak gempa. Padahal, sekitar 10 persen di antara mereka adalah eksportir. Artinya, mereka harus segera bangkit dan kembali berproduksi agar jadwal pengiriman barang tak mundur terlalu lama. Kalau ini terjadi, bisa memengaruhi kredibilitas mereka di mata pemesan.
Di samping itu, terhentinya roda produksi akibat gempa dikhawatirkan juga akan membuat para perajin pun semakin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Andra memperkirakan, seorang perajin aksesori interior setidaknya dibantu sekitar 15 perajin lainnya.
“Jadi, kalau di Klaten ini ada 3.000 pengusaha dan perajin, berarti setidaknya ada 45.000 orang dan keluarga masing-masing yang pendapatannya tergantung industri ini. Kalau pengusaha dan perajin tidak bisa segera berproduksi, dari mana mereka bisa mendapat uang,” kata Andra.
Upah perajin dalam sehari di Klaten adalah Rp 15.000-Rp 25.000. Untuk memutar roda ekonomi inilah, meski sebagian masih tinggal di tenda tetapi perajin berusaha untuk bekerja. Andra yang mempunyai usaha mebel dan aksesori interior Pangjati, misalnya, meski belum mendapat pesanan baru, tetapi sejak akhir Juli berusaha mempekerjakan kembali 56 perajinnya.
Oleh karena itulah, kini Asmindo Klaten antara lain giat “berpromosi” kepada para perajin untuk segera berproduksi. Seberapa pun produk yang bisa dihasilkan para perajin, entah itu dalam bentuk mebel atau aksesori interior, akan diupayakan terpajang dalam berbagai pameran.
Menurut Andra, untuk jangka pendek mereka akan mengutamakan keikutsertaan produk para perajin korban gempa di Klaten dalam Pameran Produksi Ekspor (PPE) yang akan berlangsung di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, bulan Oktober mendatang.
“Produk aksesori interior di Yogya dan Klaten terutama sangat banyak variasi bahan baku, desain, dan harganya. Produk aksesori ini lebih berkemungkinan menarik pembeli dalam pameran karena harganya relatif terjangkau dan pengirimannya pun tak memerlukan kontainer tersendiri,” tuturnya.
Industri skala kecil
Aksesori interior bisa diselipkan di antara ruang kosong dalam kontainer mebel untuk ekspor. Seperti cerita Hendi, nama panggilan Norman Hendrasyah, awalnya dia menekuni aksesori interior saat bekerja di perusahaan mebel. Pembeli dari mancanegara biasanya meminta aksesori untuk memenuhi ruang kosong di sela-sela mebel yang masif dalam kontainer.
Melihat peluang besarnya kebutuhan aksesori interior ini, Hendi memutuskan menjadi pengusaha sekaligus perajin. Meski mengaku masih merupakan industri berskala kecil, setidaknya mereka telah membuka peluang kerja bagi para tetangga, terutama ibu rumah tangga.
Hal sama juga dilakukan House of Lawe yang membuat berbagai produk fungsional berbahan baku lurik. Savitriadi dari pemasaran House of Lawe menuturkan, mereka menjalin kerja sama menggunakan sistem plasma dengan sejumlah sentra kerajinan tenun ATBM (alat tenun bukan mesin) di Krapyak Wetan, Sewon, Bantul; Gamplong, Moyudan, Sleman; Nanggulan, Kulonprogo; dan Pedan, Klaten.
“Sejumlah kelompok perempun perajin juga menjadi mitra kami. Mereka kebanyakan putus sekolah, seperti mitra kami di daerah Samas dan Sedayu, Bantul. Ada pula perempuan difabel yang bekerja membuat pernak-pernik kantor dan rumah di Wirobrajan, Kota Yogya. (BENNY DWI KOESTANTO/ CHRIS PUDJIASTUTI)